Written by Len
Written by Len

Rasian dari Dapur

Muni melirik air yang sedang direbusnya. Tak juga air itu mendidih. Dia pun harus kembali melanjutkan gumamannya akan masa depan.

Rasian dari Dapur- writtenbylen - mlendrijulian


Selepas berbuka puasa, Muni berniat menyeduh kopi. Ia pun menuju dapur, mencari-cari kopi untuk dinikmatinya. Ditemukannya sebungkus kemasan kopi, senang dirasakannya. Sebab, baginya, sehari tanpa kopi bagaikan seratus tahun di gurun pasir: gersang dan harus selalu berhadapan dangan badai. Setelahnya, Muni pun segera merebus air.

Sembari menunggu airnya mendidih, Muni melamun. Dia tersadar bahwa sudah berpuluh tahun dia berada di Bumi. Walau demikian, menjadi tua masihlah memakan waktu yang amat panjang. Nanti, dia harus menjadi orang tua, membayar pajak, menjadi tua, dan mati. Di sela-sela menunggu mendidihnya air, Muni membayangkan segala peristiwa yang akan dialaminya di masa depan. 

Akhirnya Muni terjerembab pada bayangan-bayangan masa depan itu. Air yang direbusnya belum juga mendidih, tapi dia sedang berada di masa depan. Dia pun segera mengenyahkan bayangan-bayangannya itu, lamunannya terhenti, dan dia menyimpulkan bahwa masa depan adalah hal yang tidak diketahuinya.

"Ini adalah kutukan. Hidup ini adalah kutukan! Aku dipaksa untuk menjalani hidup, dan tidak diperbolehkan melihat masa depan! Seandainya Adam tidak diturunkan ke bumi, pasti aku sedang bermain-main di taman surga. Tidak perlu aku mempunyai anak. Tidak perlu aku membayar pajak. Tidak perlu aku merasakan menjadi tua." Gumamnya.

"Yang lebih parahnya lagi, bagaimana jika masa depan yang kupikirkan itu berbeda? Syukur jika itu lebih baik, tapi bagaimana jika itu lebih buruk? Mungkin nanti aku akan mendapati peristiwa yang tak enak. Bisa jadi, di masa depan, aku tak bisa lagi menikmati kopi." Tambahnya.

Muni melirik air yang sedang direbusnya. Tak juga air itu mendidih. Dia pun harus kembali melanjutkan gumamannya akan masa depan. 

"Banyak yang mengatakan kalau hidup adalah perjuangan. Tapi, perjuangan untuk apa? Untuk bertahan hidup? Sungguh menyebalkan! Sudah kubilang, ini adalah kutukan. Jika aku berusaha bertahan hidup, haruskah aku mengorbankan hidup orang lain? Bukankah itu yang selalu dilakukan orang, berdoa agar hidupnya baik tanpa memedulikan hidup orang lain? Seperti halnya dua orang yang sedang berlomba, yang saling berdoa agar dirinya menang, tapi secara tidak langsung mendoakan lawannya kalah. Apakah itu yang dinamakan perjuangan?"

Muni kembali melirik air yang sedang direbusnya. "Banyak juga yang mengatakan bahwa semakin banyak benturan-benturan kepada hidup, maka hidup itu akan terbentuk, dan bisa dinikmati. Layaknya air yang dipanaskan, kemudian ia mendidih, dan akhirnya bisa dinikmati. Tetapi, apakah harus seperti itu? Apakah harus bersusah-susah dahulu, kemudian bersenang-senang nantinya? Apakah arti dari bersenang-senang itu adalah bersenang-senang atas kesusahan di masa lampau, dan kemudian bangga bahwa diri telah mengalami kesusahan? Buktinya, banyak orang-orang kaya yang berbicara tentang masa lalunya yang kelam, berharap memberi pencerahan kepada orang-orang yang masih kelam hidupnya. Mungkin itu berhasil bagi sebagian orang, sebagiannya lagi, tetap berada di sebuah kekelaman. Apakah tujuan memiliki kehidupan yang senang itu adalah untuk menceritakan masa kelam? Jika memang harus bersusah-susah dahulu, kenapa pula para calon pejabat capek-capek mengampanyekan bahwa mereka bisa membuat negara lebih jaya, makmur, dan senang? Jika kampanye mereka memang benar, maka tidak perlu bersusah-susah dahulu untuk mendapati kesenangan. Cukup pilih mereka, dan hidup akan senang!"


***


Muni segera mencari sebuah cangkir untuk kopinya. Ditemukannya sebuah cangkir yang dia yakini mampu untuk menampung kopi dan kuat menahan panasnya air. Dibukanya kemasan kopinya dan dituangkannya kopi itu ke dalam cangkirnya. Namun air yang direbusnya belum juga mendidih. Akhirnya Muni masih harus berhadapan lagi dengan rasa sebalnya akan kehidupan.

"Jika melihat sejarah, kutukan hidup akan terlihat lebih jelas. Orang-orang terdahulu memilih untuk berperang, yang alasannya untuk perdamaian. Kematian menjadi alasan untuk keberlangsungan hidup. Mungkin perang yang mereka ciptakan itu ada benarnya. Mungkin, jika mereka dahulu tidak berperang, aku tidak akan di sini untuk menikmati secangkir kopi. Walau begitu, itu tidak mematahkan pikiranku bahwa itulah kutukan yang dimiliki manusia." 

Dia melanjutkan, "Masa kini pun perang masih terjadi. Apakah mereka tidak pernah lelah? Apakah hormon yang mereka miliki memang selalu ingin berperang? Jika begitu, perang tidak akan pernah berakhir. Hormon itu akan terwariskan kepada anak-cucunya. Anak-cucunya akan mewariskan lagi hormon untuk berperang itu. Begitu seterusnya. Kutukan yang melingkar itu pun tak pernah bisa terputus. Ah, masa depan! Akankah kau membuat lingkaran kutukan itu terputus, atau justru membuatnya semakin bulat?"

Terlihat air yang sedang direbus itu membuih. Suatu tanda bahwa air itu siap untuk dinikmati. Muni pun segera mengenyahkan segala lamunannya tentang kutukan. Didekatkannya sebuah cangkir yang sudah terisi bubuk kopi yang telah disiapkannya kepada air yang sudah terlihat mendidih. Dituangkannya air mendidih itu ke dalam cangkir kopinya. Segera Muni mengambil sendok untuk mengaduk bubuk kopi yang telah dicampurnya dengan air mendidih, agar manis dirasakannya.

Dengan tangan yang sedang mengaduk kopi, Muni kembali bergumam, "Ya, ini tidak sepenuhnya salah Adam karena telah membuatku berada di Bumi. Sebelum Adam diturunkan dari surga, Sang Pencipta telah mengobrol dengan malaikat-Nya, bahwa Ia akan menghadirkan sesosok manusia untuk menjadi penunggu Bumi. Mana bisa aku menyalahkan-Nya? Terlebih lagi, kopiku sudah bisa dinikmati. Mana bisa aku menyalahkan-Nya?"

Kini ditangannya telah hadir kopi yang siap untuk dinikmati. Muni pun segera menaruh sendoknya ke tempat pencucian piring. Dia pun langsung membawa kopinya dan pergi meninggalkan dapur.


*

Purwakarta




Post a Comment