Selain sebagai tempat yang pas untuk mempelajari bahasa Inggris, Kampung Inggris Pare pun ternyata mampu membangun kembali kenangan akan masa-masa kuliah. Hanya saja, Anda tidak perlu menghabiskan kuota untuk mengirim pesan kepada dosen pembimbing. Anda pun tak perlu mondar-mandir ke tempat fotokopi untuk mencetak hasil revisian. Bagi saya itu sudah menjadi sebuah kenikmatan dalam proses menimba ilmu.
Alhamdulillah, saya dan 7 guru lainnya beserta 110 siswa/siswi telah melaksanakan program tahunan sekolah, yang diberi judul #Hangout2Pare. Secara istilah, kata "hangout" berarti "menghabiskan waktu bersama teman-teman ke tempat yang sudah sering dikunjungi untuk menghilangkan stres selama bekerja". Dari makna istilah itu, yang saya suka dari kata "hangout" adalah karena ia bertujuan "menghilangkan stres selama bekerja". Jadi, menuju Pare adalah sebuah langkah untuk menghilangkan stres. Kedua, karena "hangout" dimaknai "berkumpul bersama teman-teman". Tentu saja, yang menjadi tokoh utamanya adalah para siswa. Dengan menuju Pare, diharapkan para siswa bisa lebih dekat lagi bersama teman-temannya sekaligus menghilangkan stres dengan belajar bahasa Inggris. Untung saja judul program ini tidak menggunakan kata "visiting" ataupun "travelling". Jika kedua kata itu digunakan, para siswa mungkin hanya berfoto-foto ataupun melihat tugu garuda di persimpangan Pare.
Walaupun demikian, kata "hangout" itu sendiri seringkali digunakan orang untuk kegiatan-kegiatan berlibur, atau saat ini seringkali disebut "healing". Itu membuat kata "hangout" seperti belum pas jika disandingkan dengan kegiatan pembelajaran. Saya lebih suka jika kata yang digunakan adalah "learning" atau "camping". Tapi mungkin kata-kata itu terkesan membosankan. Di sisi lain kata "hangout" terkesan lebih kekinian, lebih keren, lebih gaul.
Adapun maksud dari angka "2" yang diselipkan pada judul adalah "ordinal numbers". Artinya, tahun 2022 ini merupakan tahun kedua program menuju Pare ini dilaksanakan. Tapi, angka 2 ini enak untuk diinterpretasikan ulang. Bisa jadi angka "2" itu merujuk ke tahun 2022, bisa pula merujuk kepada durasi kami berada di Pare (2 minggu), bisa pula merujuk kepada kata preposisi "to", karena dua adalah "two", bisa juga "di-cocoklogi"-kan ke nomor pasangan capres.
Dengan ajaibnya angka "2" itu, saya pun jadi ingin berintrepretasi. Jarak antara program kedua ini dengan program yang pertama adalah selama dua tahun. Yang di mana selama dua tahun itu Bumi sedang diserang Covid-19. Jadi, bisa saja angka "2" pada judul itu adalah satire terhadap serangan virus tersebut.
Saya sudahi saja masalah judul dan angka "2"-nya itu. Kita kembali ke laptop, kembali ke Pare. Istilah "Kampung Inggris" yang disematkan pada Kecamatan Pare di Kabupaten Kediri itu menurut saya sudah seharusnya di-upgrade. Sebab, para pendatang yang menuntut ilmu di sana tidak hanya berniat belajar bahasa Inggris. Sudah ada banyak kursusan yang membuka pintu untuk bahasa non-Inggris. Mungkin ke depannya akan ada pula kursusan yang membuka pintu untuk bahasa non-manusia. Juga, istilah "Kampung" bisa di-upgrade menjadi "Negara" atau mungkin "Planet". Sebab Kampung Inggris sudah tidak seperti kampung lagi. Mungkin Anda akan setuju setelah selesai membaca tulisan ini.
Yang membuat saya terkejut lagi, ada kursusan yang membuka kelas untuk mempelajari kitab kuning. Tentunya, kitab kuning selalu identik dengan pesantren, bukan kursusan. Ketika saya membaca tulisan "Kursus Kitab Kuning", sontak membuat saya terkejut tak bersuara. "Kenapa tidak membuka pesantren, saja?" Tanya saya dalam hati. Saya pun menerka-nerka, bisa saja kitab kuning itu bukan "kitab kuning pesantren" yang membahas segala hal tentang ke-Islaman. Bisa jadi kitab kuning yang diajarkan adalah kitab kuning yang ditulis oleh ilmuwan, yang membahas ilmu tentang alam, bisa jadi juga kitab kuning yang ditulis oleh Abu Nawas, yang berisikan tentang humor-humornya. Para peserta kursusan pasti akan cekikikan setiap saat pembelajarannya.
Mungkin saya sebutkan saja nama kursusan kami selama di Pare. Mr.Bob Kampung Inggris namanya, dengan hashtag Super Seru. Sampai saat ini saya belum bisa memecahkan masalah siapa dan yang mana Mr. Bob sebenarnya. Yel-yel yang saya ingat adalah ketika para tutor menyapa, "How's life?", para peserta kursusan menjawab "Great, excellent, yeay!"
Kata "yeay" bisa bermakna dua. Jika kata "yeay" itu diucapkan dengan penuh semangat, maka yang mengucapkannya benar-benar sedang great dan excellent. Coba saja bayangkan dan jika bisa ucapkan kata "yeay" dengan lemas dan lesu. Maka orang yang mengucapkannya akan terkesan seperti sedang mempunyai beban. Oleh karenanya, kata "yeay" harus diucapkan dengan kondisi yang memang sedang great dan excellent.
Tidak hanya 110 siswa yang mengikuti kursus, saya beserta 7 guru lainnya pun diberi jatah tiga kelas. Saya pun mengambil kelas yang diberi nama: Writing Class, Speak Up 100, dan Pronunciation WOW. Dari kelas-kelas itu saya disadarkan bahwa saya sudah tua. Para peserta kursusan yang saya temui rata-rata berada di bawah dari angkatan saya. Walaupun kami sama-sama dari Generasi Z, saya tetap merasakan saya lebih tua dari mereka. Tapi, daripada merasa tua, saya putar mindset, dan berpikir bahwa saya kembali muda!
Saya pun mengikuti tiga kelas itu. Dari sana saya mulai mengingat kembali masa-masa kuliah. Saya kembali merasakan bagaimana tegangnya mencari-cari materi, melakukan presentasi, bercanda dengan teman-teman di kelas, hingga mendengar lelucon dari dosen yang menyenangkan (di Mr. Bob disebut tutor). Hanya saja di sini pesertanya lebih sedikit (apalagi kelas writing) dan tidak ada makalah ataupun skripsi yang menghantui. "Kenapa kuliah saya dulu tidak seperti ini?" Gumam saya.
Namun, walaupun saya merasakan kembali kuliah, saya harus ingat bahwa ada siswa yang harus diurus. Saya sampai harus absen 4 pertemuan karenanya. Yang pertama dikarenakan saya harus mengurus simulasi Penilaian Akhir Tahun. Kedua dikarenakan berkunjungnya kepala sekolah untuk menengok. Ketiga karena adanya siswa yang sakit. Terakhir adalah karena kami pergi mengunjungi Bromo.
Untuk Bromo, saya merasa puas akan segala pemandangan dan hasil foto-foto diri saya yang keren, yang di mana perfect untuk dijadikan foto profil di media sosial. Untuk perjalanannya, memakan kurang lebih 3 jam dari Pare. Saya pun harus berdempetan dengan siswa selama perjalanan. Namun, saya tetap senang karena ada tapak tilas saya di Bromo. Jika Anda sedang di Bromo, cari saja tilas langkah kaki saya.
Kita kembali lagi ke Pare. Dengan banyaknya pendatang, mata pencarian di Kampung Inggris itu pun menjadi beragam. Dari mulai penjual aksesoris khas Pare, banyaknya cafe yang dibangun, hingga penyewaan sepeda. Oleh karenanya, ketika Covid-19 datang melanda Bumi, bukan hanya kesehatan yang menjadi isu utama, melainkan ekonomi pun. Pare Kampung Inggris pun seperti menjadi Kampung Zombie. Hening. Sepi.
Selama di sana, saya seringkali mengunjungi beberapa warung untuk ngopi. Entah kenapa saya lebih menyukai warung-warung untuk meng-ngopi daripada cafe. Tapi yang jelas adalah karena low-budget. Seperti memilih gadget, saya harus memilih yang sesuai kebutuhan. Jika hanya sekadar ngopi, warung-warung yang menyediakan tempat ngopi pun sudah cukup.
Saya pun sampai memiliki basecamp tersendiri untuk ngopi. Jika Anda sedang di Kampung Inggris, cari saja Sanjaya, yang berada di Jalan Dahlia. Ada pula sebuah warung kecil tak bernama yang berada di Jalan Asparaga. Lebih spesifiknya, warung kecil itu berada di sebelah tempat para warga biasa bermain tenis meja. Anda pasti menemukannya. Dua warung itulah yang saya jadikan basecamp untuk ngopi. Saya tidak terlalu banyak jajan. Paling sekali ngopi saya hanya menghabiskan 5.000 Rupiah atau terkadang sampai 10.000 Rupiah. Semoga saja mereka tidak bosan kedatangan saya yang hanya sedikit jajan dan lama ngopi-nya. Semoga juga mereka diberi rezeki yang baik, keselamatan, dan kesehatan, sehingga saya bisa bertemu lagi dengan mereka di lain waktu dan kembali sedikit jajan kepada mereka.
Pulang
Kisah di Pare tidak hanya itu. Masih banyak lagi hal unik lainnya seperti istilah "Pare Jahat" dan "Ibu Begal". Tapi menurut saya, lebih baik saya serahkan kepada Anda untuk mencari tahu dan mengalaminya sendiri. Pada tulisan ini pun saya tidak terlalu banyak menceritakan bagaimana para siswa maupun 7 guru lainnya selama dua minggu di Pare. Biarkan mereka menulis sendiri kisahnya.
Kini saatnya saya kembali pulang, bukan kembali stres.
Purwakarta




Post a Comment