Bulan Juli lalu, seorang teman memutuskan untuk resign. Alasannya karena beliau mempunyai pekerjaan lain yang lebih worth it, entah dari value, atau mungkin dari salary-nya. Yang jelas saya tidak tahu persis apa dan kenapa beliau berani memilih resign. Jika dianalogikan, pada saat itu saya seperti kertas yang kehilangan tubuhnya. Walau tidak tinggal serumah, rasa kehilangan itu tetap terasa.
Sebelumnya, tak lama selepas bulan Ramadan, seorang teman satu SMA, yang baru bekerja kurang lebih satu semester, pun memutuskan untuk resign. Alasan yang saya tangkap adalah terkait salary yang dirasanya masih kurang cukup untuk bertahan hidup. Itu wajar dan amat sah. Setiap orang berhak menentukan kehidupannya masing-masing. Yang menjengkelkannya adalah rasa kehilangan yang harus saya rasakan.
Yang paling menjengkelkannya lagi, seorang teman, yang lebih dekat dibanding kedua teman di atas, secara tiba-tiba mengumumkan dirinya resign. Alasan darinya yang saya terima adalah karena ia ingin memulai sebuah usaha. Sontak saya pun tak mood melakukan apapun. Saya pandangi langit sore dan bertanya "Kenapa harus dia?". Mungkin itu seperti berlebihan. Tapi itulah yang terjadi. Itulah yang saya rasakan. Kehilangan orang-orang terdekat, yang selalu mengisi dan menemani hari-hari saya, esok akan enyah keberadaannya.
Dari ketiga teman di atas dan beberapa teman lainnya yang tak sanggup saya menuliskannya di sini, alasan rata-rata yang saya dapatkan dari mereka adalah bahwa mereka ingin memulai hidup yang lebih baru, yang lebih layak untuk diperjuangkan. Entah pilihan resign mereka baik atau tidak, tetapi saya yakin dan berharap, mereka akan terus bahagia dengan pilihannya. Walaupun mereka mendapati ketidakbahagiaan, minimal mereka sudah berani untuk memilih. Dari sana saya melihat adanya "kemerdekaan".
Sayangnya, bukan hanya "kemerdekaan" mereka yang saya rasakan. Selain rasa kehilangan, kepergian mereka membuat saya merenungi diri sendiri. Saya melihat diri saya seperti burung yang masih terdiam di dalam sangkar. Sedangkan teman-teman saya itu bagaikan burung yang sudah terbebas dari sangkar dan kini layaknya bebas berterbangan menghiasi langit. Hal itu mengusik-ngusik pikiran dan batin saya. Pertanyaan-pertanyaan seperti, "Kenapa saya masih di sini?", "Kenapa saya tidak melangkah seperti mereka?", hingga "Siapa saya sebenarnya?", hinggap mengganggu pikiran.
Saya pun merenungi diri ini seperti hanya segumpal daging yang kebetulan masih bernyawa. Tak ada gairah, tak ada kebanggaan, tak ada cita-cita. Apalagi, saya bukanlah anak sultan yang bebas, boleh, dan bisa memilih resign kapan pun maunya. Segala tindakan harus dipikirkan secara matang. Bahkan untuk berbuat dosa pun harus dipikir-pikir kembali, apakah itu akan menguras finansial atau tidak, apakah itu akan membuat saya dijauhi teman maupun keluarga, dan sebagainya. Sebab, berani memilih untuk dijauhi orang-orang adalah pilihan yang akan membuat hidup saya lebih susah. Keadaan saya tidak memperbolehkan saya untuk menjadi seseorang introvert ataupun anti sosial. Prinsip mutualisme harus selalu saya pegang.
Mungkin jika dianalogikan lagi, jalan yang sedang saya tapaki sedang mengalami kemacetan. Tentu saja, kemacetan itu tidak bisa saya kontrol. Kendaraan yang sedang saya gunakan pun sepeda motor beroda dua. Sehingga, saya tidak sempat mendengarkan lagu untuk menemani saya dalam kemacetan itu. Sangat tidak bijak jika saya memilih untuk memutar balik. Jadi yang bisa saya lakukan adalah tetap sabar menunggu kemacetan itu usai.
Saya pun sampai kepada, mungkin sudah ditakdirkan, sebuah album masa lalu yang merekam momen hidup. Dari sana terasa sangat kerinduan akan kehidupan masa lalu. Dirasakannya kehidupan yang lebih baik dari saat ini. Dari sana pula saya melihat hidup saya yang berseni, yang terasa lebih berwarna, yang lebih hidup pula. Dengan melihat album tersebut, saya baru menyadari bahwa masa lalu saya patut disyukuri. Padahal, dahulu saya menjalani hidup biasa saja. Sebuah kehidupan yang memberikan rasa galau maupun gelisah. Namun, ketika album momen itu terbuka kembali di masa kini, saya merasa bersyukur akan masa lalu itu.
Dari sana saya memulai kembali perenungan. Kehidupan masa kini yang saya keluhkan bisa saya syukuri di masa yang akan datang. Bisa juga sebaliknya. Bisa jadi masa yang akan datang akan lebih baik. Namun, masa depan adalah hal yang ghoib, yang tak bisa seenaknya saya terka. Dengan begitu, saya rasakan kehidupan ini layakknya game Pac Man, yang walaupun telah berhasil menyelesaikan satu permainan, tetap saja dia berada di dalam suatu labirin, hanya bentuk labirinnya saja yang berbeda.
Dengan mengetahui teman-teman yang memulai hidup baru, saya mendapati perenungan ini. Entah labirin apa yang akan saya dapati di masa depan. Namun yang jelas, permainan labirin yang disebut "kehidupan" ini sedang berlangsung. Dan saya berharap kebahagiaan akan terus menyertai.
*
Purwakarta




Post a Comment