Written by Len
Written by Len

Dua Belas Lima

"Nasi Liweut berapa, Bu?" Dia memutuskan untuk bertanya. "Dua belas." Jawab Ibu Penjaga Warung.

Dua Belas Lima - mlendrijulian - comedy



Akhir bulan menjadi hal yang paling menegangkan bagi kami. Ya, saya sengaja memakai subjek "kami", karena yang akan menjadi tokoh pada tulisan ini ialah saya dan seorang teman. Akhir bulan menjadi menegangkan karena itu adalah masa-masa kami mengalami "krisis moneter". Sebuah masa di mana kami mengalami kanker (kantong kering). Tapi, bukannya menahan diri untuk menghemat, kami malah berpergian dengan nekat

Saat itu merupakan hari Sabtu di akhir bulan Mei. Kebetulan kami berdua sedang sama-sama merasakan gabut tak tertahankan. Kami pun memutuskan untuk berpergian. "Cirata?". "Kuy, lah!". Begitu dialog awal kami. Kami pun bersiap-siap, bercermin, memanaskan motor, dan yang pastinya, membawa dompet yang nantinya akan terkuras (sebelum terkuras memang sudah kering, sih).

Sesuai kesepakatan, kami pun on the way menuju Waduk Cirata. Cukup jauh, tapi setibanya, kami takjub seraya bergumam, "Wow, ada air!" Waduk Cirata memang indah, tapi itu sebelum kami mengalami sebuah tragedi, yang nantinya membuat kami bergumam "Sumpah! Kita gak akan ke sini lagi!" 

"Transit dulu, lah!" Pinta teman saya. Saya pun sudah cukup merasa lelah setelah mengendarai motor dari rumah ke Cirata ini. Akhirnya kami pun memutuskan untuk transit. "Di sini! Enak nih buat ngopi!" Kami pun menemukan tempat untuk transit. Kami memarkirkan motor, dan sesosok tukang parkir langsung menghampiri sembari memberi dua lembar kertas tiket yang desainnnya sepertinya tidak menggunakan aplikasi Canva. Dia pun berkata, "Jadi sepuluh ribu, ya, jangan sampai hilang kertasnya." "Iya Mang." Sahut kami. Padahal dalam hati kami berkata "Apa-apaan?! Mending kita beli Nasi Padang paket ceban!" Tapi ya, sudahlah. Itu artinya kita harus transit cukup lama agar uang sepuluh ribu kita tidak terbuang sia-sia.

Kami pun menuju sebuah warung. Terlihat ibu-ibu si penjaga warung. "Lapar nih! Mau makan gak?" Tanya teman saya itu. Pada saat itu kebetulan saya belum merasakan lapar. Saya pun hanya berniat untuk membeli segelas kopi. Lalu teman saya itu melihat brosur yang ada di warung itu, dan dia membaca bahwa warung tersebut menyediakan nasi liwet. "Nasi liwet berapa, Bu?" Dia mulai bertanya. "Dua belas." Jawab Ibu Penjaga Warung. Teman saya pun dengan mantap memesan, "Ya udah Bu, Nasi liwet satu porsi." "Saya pesen kopi aja Bu, satu". Saya menambahkan. Ibu Penjaga Warung pun seperti sudah mencatat pesanan kami di kepalanya. Dia pun langsung menuju dapur dan langsung ngaliwet

Segelas kopi pesanan saya sudah tiba. Sedangkan nasi liwet masih dalam proses. Sambil menunggu Ibu Penjaga Warung ngaliwet, kami pun memikirkan konsep video yang nantinya bisa untuk dipamerkan di media sosial, agar yang melihatnya bisa menilai bahwa kami punya "kehidupan", tidak nolep. Tapi bukan itu saja sih, video itu sengaja kami buat agar nanti ada kenang-kenangan di hari mendatang. "Lama banget, ya?" Teman saya mulai melontarkan pertanyaan orang kelaparan.  

"Kalau kita lurus ke sana, kita akan ke Bandung!" Ucap saya kepada teman saya. "Gimana? Ke Bandung, gaskeun?" Saya meminta pendapatnya. "Bebas, sih!" Pendapat teman saya itu menjadi sebuah keputusan bersama bahwa setelah dari sini, dengan kantong kering, kita akan ke Bandung! Lebih tepatnya, kami akan mengunjungi sebuah mesjid yang sedang viral, Mesjid Al-Jabbar! 

Akhirnya, setelah kurang lebih setengah jam, nasi liwet pesanan teman saya itu tiba. Ketika Ibu Penjaga Warung itu membawakan pesanan, kami tidak melihat nasi liwet "satu porsi" yang ada di kepala kami, melainkan "satu porsi" yang ada di kepala Sang Penjaga Warung. Kami mendapati sewakul nasi liwet, semangkuk sambal, sebaskom air kobokan, dan dengan ditemani tiga ikan bakar. "Waduh!" Gumam kami.

Saya pun tidak tega melihat teman saya memakan "satu porsi" nasi liwet yang cukup untuk empat orang itu sendiri. Saya pun menemaninya. "Tapi ini kenapa ada tiga ikan?!" Kami bertanya-tanya dengan cara berbisik-bisik. "Kita makan satu ikan saja untuk berdua. Biar yang duanya lagi tidak dihitung!" Begitulah keputusan kami. Kami pun ngaliwet dengan perasaan cemas menggelitik tubuh. Pasalnya, gajihan masih dua minggu lagi!

Terasa perut sudah terisi, kami pun mengakhiri sesi acara ngaliwet itu. Segera kami minum, cuci tangan, dan memastikan dua ikan yang kami acuhkan itu tidak dimakan kucing. Lalu kami pun terdiam menunggu nasi liwet yang sudah termakan dan terkunyah-kunyah itu turun menuju perut. Setelah beres semua, kami pun mulai bertanya, "Bu, kami sudah selesai, jadi berapa?". "Dua belas lima." Jawab Ibu Penjaga Warung. Kami pun mengeluarkan dompet kering kami. "Murah banget, kita kasih dua puluh ribu aja!" Kata teman saya yang berniat memberi "lebih" untuk Ibu Penjaga Warung. 

"Sisanya dibungkus saja ya, sayang kalo gak dimakan." Pinta si Ibu Penjaga Warung. Kami pun bingung. Justru sengaja kami tidak memakan sisanya itu agar tidak ada biaya tambahan. Tetapi pada akhirnya, kami pun mengiyakan si Ibu Penjaga Warung untuk membungkus sisa liwetan-nya itu.

Teman saya pun memberikan uang sebesar dua puluh ribu rupiah kepada saya, karena saya yang akan membayarkannya kepada si Ibu Penjaga Warung. Tetapi saya simpan uang dua puluh ribunya itu di kantong saya, dan saya mengeluarkan uang sebesar seratus ribu kepada si Ibu Penjaga Warung, agar saya mempunyai uang receh. 

Seratus ribu rupiah pun berada di tangan si Ibu Penjaga Warung. Si Ibu Penjaga Warung terdiam. "Apakah dia tidak punya receh untuk kembaliannya?" Tanya saya dalam hati. "Gimana, Bu?" Tanya saya kepadanya. "Dua puluh lima ribu lagi." Jawabnya. Dari sana kami terjebak teknik marketing si Ibu Penjaga Warung, bahwa dua belas lima itu bukan dua belas ribu lima ratus, melainkan seratus dua puluh lima ribu! Ya, seratus dua puluh ribu untuk "satu porsi" nasi liwet, dan lima ribu untuk satu gelas kopi susu. Teman saya pun langsung memberikan dua puluh lima ribu yang dipinta oleh si Ibu Penjaga Warung itu. "Kenapa tidak dari awal dia bilang 'seratus dua puluh ribu'? Kenapa harus bilang 'dua belas'? Kenapa kami makan nasi liwet? Kenapa kami ke sini? Kenapa? Oh, kenapa?" Kami bertanya-tanya, tetapi kami tak bisa berkata-kata.

"Terima kasih ya, A, semoga nanti ke sini lagi." Doa si Ibu Penjaga Warung kepada kami yang ingin segera pergi dari warung itu. Dengan berat saya menjawabnya, "Aamiin.". Kami pun pergi meninggalkan tempat itu dengan perasaan tak menentu, ingin teriak, dan yang pastinya, dengan dompet yang sudah terkuras! 

"Gimana, nih, jadi ke Bandung?" Tanya saya kepada teman saya. "Bebas, sih." Lagi-lagi, jawaban teman saya itu menjadi keputusan bersama kami. Di akhir bulan Mei itu, dengan dompet yang sudah terkuras, kami memutuskan menuju Al-Jabbar. 

Dan ketika di sana, lagi-lagi kami mengalami tragedi. 


*

- Purwakarta 

Post a Comment