Di umur yang sudah mencapai lebih seperempat abad ini, saya melihat; merasakan; dan mungkin mengalami sesuatu yang disebut "kompetisi". Di segala macam bidang kehidupan, yang terlihat hanya kompetisi: cinta, karir, ekonomi, dan sebagainya. Padahal, dari lubuk hati, saya sangat tidak menginginkan adanya kompetisi dalam kehidupan. Kenapa juga harus berkompetisi? Bukankah hidup lebih tenteram jika tidak ada yang berkompetisi?
Semisal ketika duduk di bangku sekolah, guru seringkali memberi kompetisi berbentuk permainan. Bahkan, di ajang Hari Kemerdekaan, masyarakat disuguhi kompetisi yang berbentuk perlombaan. Fenomena-fenomena tersebut tiada lain ialah bentuk dari suatu kompetisi.
Bahkan, dalam agama pun, berkompetisi menjadi suatu aktifitas yang harus dilakukan. Dalam Quran Surat Al-Baqoroh ayat 148, umat Muslim dianjurkan untuk "berlomba-lomba dalam kebaikan". Ayat tersebut menjadi dalil untuk terus berkompetisi dalam kebaikan, yang nantinya akan dihadiahi oleh Sang Pencipta.
Tetapi saya memiliki interpretasi agak lain terhadap ayat tersebut. Bagi saya, berlomba-lomba dalam kebaikan pada akhirnya adalah tidak berlomba. Sebab, teknis dari suatu perlombaan biasanya adalah "terlihat". Sedangkan, kebaikan tidak perlu, atau bahkan lebih baik tidak "terlihat". Jadi, berlomba-lomba dalam kebaikan ialah berlomba-lomba untuk tidak terlihat melakukan kebaikan. Pada akhirnya, perlombaan itu menjadi tiada.
Peperangan masa lalu yang berdarah-darah merupakan salah satu efek dari sebuah kompetisi. Para tentara, raja-raja, bahkan masyarakat sipil, rela untuk memburu atau diburu demi suatu kompetisi. Mereka berkompetisi dalam bentuk peperangan untuk mencapai sebuah kemenangan.
Apalagi jika melihat kompetisi dalam dunia politik. Kebencian demi kebencian ditumbuhkan melalui hate speech, fitnah, pencemaran nama baik, dan lain sebagainya. Debat-debat kusir para politisi pun kerapkali menyakiti mata dan telinga. Bukankah itu salah satu bentuk yang disebabkan oleh adanya kompetisi?
Dalam dunia perusahaan, seringkali ada kompetisi untuk mendapatkan gelar "karyawan terbaik bulanan". Para karyawan dituntut untuk menjadi yang terbaik. Bayangkan, jika seluruh karyawan di perusahaan tersebut terpampang di dinding kantor wajahnya sebagai karyawan terbaik, tetapi ada satu karyawan yang belum terpampang wajahnya, apa yang akan ia rasakan? Karyawan tersebut pasti akan diselimuti rasa malu dan cemas. Hatinya tidak tenteram. Dia akan dihantui oleh perasaan kecewa terhadap dirinya sendiri. Dia akan merasa dirinya bukan karyawan terbaik. Pada akhirnya, mau tidak mau, dia harus memasuki kepada lingkaran setan yang disebut kompetisi.
Dengan begitu saya sangat tidak ingin untuk berkompetisi. Mungkin akan terlihat seperti seorang pengecut, tetapi berlomba-lomba untuk terlihat menjadi pemberani pun saya tidak menginginkannya. Sebab, Hitler pun merupakan seorang pemberani.
Saya sangat menyukai salah satu anime karya Oda-sensei, One Piece. Di dalamnya akan ditemui tokoh utama, Monkey D. Luffy, yang sangat menginginkan menjadi raja bajak laut. Ia mengatakan kurang lebih, "Aku tidak perlu mengalahkan siapapun. Bagiku raja bajak laut adalah orang yang bebas berlayar kemanapun." Dari kutipan tersebut, saya bisa menyimpulkan bahwa menggapai sesuatu yang disukai tidak sama dengan berkompetisi. Saya melakukan sesuatu karena saya menyukainya, bukan karena sedang berkompetisi. Itulah titik kehidupan yang ingin saya capai.
Sayangnya, dalam perlayarannya menjadi raja bajak laut, Monkey D. Luffy selalu dihadang oleh musuh-musuh yang kuat. Sehingga dia harus berlatih agar mampu menghadapi musuh-musuh yang menghadangnya itu. Begitupun dalam perlayaran saya. Saya selalu dihadang oleh sesuatu yang disebut dengan "kompetisi", dan mau tidak mau saya harus "berkompetisi".
Bahkan, dalam agama pun, berkompetisi menjadi suatu aktifitas yang harus dilakukan. Dalam Quran Surat Al-Baqoroh ayat 148, umat Muslim dianjurkan untuk "berlomba-lomba dalam kebaikan". Ayat tersebut menjadi dalil untuk terus berkompetisi dalam kebaikan, yang nantinya akan dihadiahi oleh Sang Pencipta.
Tetapi saya memiliki interpretasi agak lain terhadap ayat tersebut. Bagi saya, berlomba-lomba dalam kebaikan pada akhirnya adalah tidak berlomba. Sebab, teknis dari suatu perlombaan biasanya adalah "terlihat". Sedangkan, kebaikan tidak perlu, atau bahkan lebih baik tidak "terlihat". Jadi, berlomba-lomba dalam kebaikan ialah berlomba-lomba untuk tidak terlihat melakukan kebaikan. Pada akhirnya, perlombaan itu menjadi tiada.
Peperangan masa lalu yang berdarah-darah merupakan salah satu efek dari sebuah kompetisi. Para tentara, raja-raja, bahkan masyarakat sipil, rela untuk memburu atau diburu demi suatu kompetisi. Mereka berkompetisi dalam bentuk peperangan untuk mencapai sebuah kemenangan.
Apalagi jika melihat kompetisi dalam dunia politik. Kebencian demi kebencian ditumbuhkan melalui hate speech, fitnah, pencemaran nama baik, dan lain sebagainya. Debat-debat kusir para politisi pun kerapkali menyakiti mata dan telinga. Bukankah itu salah satu bentuk yang disebabkan oleh adanya kompetisi?
Dalam dunia perusahaan, seringkali ada kompetisi untuk mendapatkan gelar "karyawan terbaik bulanan". Para karyawan dituntut untuk menjadi yang terbaik. Bayangkan, jika seluruh karyawan di perusahaan tersebut terpampang di dinding kantor wajahnya sebagai karyawan terbaik, tetapi ada satu karyawan yang belum terpampang wajahnya, apa yang akan ia rasakan? Karyawan tersebut pasti akan diselimuti rasa malu dan cemas. Hatinya tidak tenteram. Dia akan dihantui oleh perasaan kecewa terhadap dirinya sendiri. Dia akan merasa dirinya bukan karyawan terbaik. Pada akhirnya, mau tidak mau, dia harus memasuki kepada lingkaran setan yang disebut kompetisi.
Dengan begitu saya sangat tidak ingin untuk berkompetisi. Mungkin akan terlihat seperti seorang pengecut, tetapi berlomba-lomba untuk terlihat menjadi pemberani pun saya tidak menginginkannya. Sebab, Hitler pun merupakan seorang pemberani.
Saya sangat menyukai salah satu anime karya Oda-sensei, One Piece. Di dalamnya akan ditemui tokoh utama, Monkey D. Luffy, yang sangat menginginkan menjadi raja bajak laut. Ia mengatakan kurang lebih, "Aku tidak perlu mengalahkan siapapun. Bagiku raja bajak laut adalah orang yang bebas berlayar kemanapun." Dari kutipan tersebut, saya bisa menyimpulkan bahwa menggapai sesuatu yang disukai tidak sama dengan berkompetisi. Saya melakukan sesuatu karena saya menyukainya, bukan karena sedang berkompetisi. Itulah titik kehidupan yang ingin saya capai.
Sayangnya, dalam perlayarannya menjadi raja bajak laut, Monkey D. Luffy selalu dihadang oleh musuh-musuh yang kuat. Sehingga dia harus berlatih agar mampu menghadapi musuh-musuh yang menghadangnya itu. Begitupun dalam perlayaran saya. Saya selalu dihadang oleh sesuatu yang disebut dengan "kompetisi", dan mau tidak mau saya harus "berkompetisi".
*
- Purwakarta




Post a Comment