Agustus sampai September biasanya adalah masa di mana para mahasiswa melaksanakan KKN (Kuliah Kerja Ngopi, eh Nyata). Bisa dikatakan itu adalah masa di mana para mahasiswa mengabdikan dirinya kepada masyarakat. Sebagian ada yang mengajar, sebagiannya mengurusi pertanian, sebagiannya lagi mengurusi pengajian, sisanya mengurusi percintaan. Cinlok (Cinta di Lokasi) sudah menjadi hal yang wajar. Bahkan, seorang teman mendapati restu dari seorang kepala desa tempat dia ber-KKN untuk menikahi putrinya.
Saya jadi teringat akan masa KKN dahulu. Tetapi saya tidak perlu membahasnya di sini. Saya sudah membahasnya di aretesite (lih: Kenapa Hal Horor Selalu Ada di Masa KKN?). Periode kemahasiswaan saya sudah lewat kurang lebih lima tahun yang lalu. Di masa kini, saya menemukan satu buku yang mengembalikan memori saya akan masa-masa perkuliahan. Buku tersebut berbentuk novel yang dijuduli Kami (bukan) Sarjana Kertas, karya J.S. Khairen.
Rumitnya menjadi Mahasiswa UDEL
Novel yang bertebalkan 355 halaman itu menggambarkan dunia mahasiswa dengan hiruk-pikuknya. Di dalamnya pembaca akan diperkenalkan dengan beberapa mahasiswa yang, dengan takdir ilahi, dipertemukan di sebuah kampus yang bernamakan Universitas Daulat Eka Laksana, disingkat jadi UDEL.
Kurang lebih begitulah apa yang disampaikan oleh si narator dalam novel ini. Benarlah, kampus tersebut bukanlah kampus yang ada di dunia ini, melainkan berada di dunia fiksi milik J.S. Khairen. Entah apa yang dimaksudkan oleh si penulis, tetapi dalam novelnya ini, digambarkan bahwa kampus yang bernamakan UDEL ini merupakan kampus yang amburadul. Sebuah kampus swasta yang isinya hanyalah mahasiswa "buangan". Sebuah kampus yang sedang menuju "pembubarannya". Saya selaku pembaca menganggap itu sebagai sebuah bentuk satir dari si penulis.
Tetapi walaupun UDEL seperti itu, pembaca akan diperkenalkan dengan tokoh dosen yang nantinya pasti menjadi favorit pembaca, penulis menamainya Ibu Lira. Seperti yang sudah disinggung, pembaca pun akan diperkenalkan dengan tokoh-tokoh yang berperan sebagai mahasiswa, yang di mana mereka memiliki latar belakang dan konflik yang berbeda-beda. Mereka dinamai: Ogi, Ranjau, Juwisa, Sania, Gala, Arko, dan Catherin. Merekalah yang akan mewarnai kampus UDEL dan juga novel ini.
Dengan digerakkan oleh si narator, para mahasiswa itu akan berhadapan dengan konflik-konflik selama berada di UDEL. Sebagai pembaca, saya menganggap tidak ada tokoh utama di dalam novel ini. Tidak ada tokoh-sentris yang menonjol. Kalaupun ada, maka tokoh utama dari novel ini bukanlah perorangan, melainkan per-tujuh mahasiswa yang tadi sudah disebutkan. Mereka menjadi tokoh protagonis dengan didampingi tokoh antagonisnya masing-masing.
Di samping dengan permasalahan mereka masing-masing, sepertinya ketujuh mahasiswa itu sama-sama mempunyai satu tokoh antagonis yang sama: tokoh dosen yang bernama Pak Jaharizal. Tokoh yang satu ini adalah tokoh dosen yang dibuat oleh penulis menjadi semenyebalkan mungkin. Dia selalu membuat mahasiswanya untuk membeli buku yang nantinya dijadikan bahan ajar dengan harga yang mahal. Pak Jaharizal pun seperti membenci UDEL, kampus tempatnya mengajar. Tokoh dosen Pak Jaharizal dengan begitu menjadi tokoh antagonis bersama.
Perkataan si narator di atas menggambarkan bagaimana kondisi para mahasiswa jika duitnya terkuras oleh dosen seperti Pak Jaharizal. Saya pernah mengalami menjadi seorang mahasiswa. Fase menjadi mahasiswa merupakan fase di mana "mau minta duit malu, enggak minta, enggak punya duit." Dengan begitu mahasiswa mempunyai dua pilihan jika ingin memegang duit: bekerja, atau meminta, atau pilihan alternatifnya, si mahasiswa haruslah/merupakan anak sultan. Bisa terbayangkan, kan, jika para mahasiswa yang dengan kondisi finansialnya lemah, bertemu dengan seorang dosen yang serupa dengan Pak Jaharizal? Dengan begitu, si narator mengatakan bahwa impian-impian para mahasiswa di novel ini akan sulit untuk diraih.
Selain penokohan, J.S. Khairen pun menggunakan gaya bahasa yang "kekinian". Diksi yang digunakan merupakan diksi-diksi yang sering digunakan kaum muda masa kini. Hal tersebut membuat novel ini menjadi karya sastra "pop", yang ringan untuk dikonsumsi pembacanya. Walaupun begitu, energi puitis si penulis kerapkali tertuang. Setiap menuju bab (di novel ini sebutannya "episode") selanjutnya, si penulis menyelipkan energi puitisnya. Seperti yang dicantumkan pada halaman 266, yang juga merupakan perkataan dari tokoh Ibu Lira (hal.64), yang berbunyi:
Asbabunnuzul dari perkataan Ibu Lira itu adalah ketika dirinya sedang menasehati salah satu mahasiswanya yang sedang terpuruk, Ogi. Pada saat itu Ibu Lira menunjukan larva dari kecoak Madagaskar. Kemudian Ibu Lira menjelaskan bahwa kecoak adalah salah satu spesies yang kuat untuk tetap bertahan walau komet atau perang nuklir menghantam bumi. Oleh karenanya, Ibu Lira menasehati, "Jangan mau kalah sama kecoak."
Dengan begitu, novel yang mengandung energi-energi puitis ini setidaknya bisa memuaskan batin pembaca yang sedang hampa. J.S. Khairen, sang Jendral Kata-Kata (begitu dia menyebut dirinya sendiri di halaman Tentang Penulis), telah memberi pembacanya berbagai macam konflik yang dialami para mahasiswa dengan resolusi yang bisa dikatakan "happy ending". Seperti halnya tokoh Ogi yang mulanya dihantam permasalahan dan kemudian memutuskan berhenti dari UDEL, berakhir dengan bekerja sebagai seorang ahli teknologi di Amerika. Begitupun dengan tokoh lainnya, khususnya ketujuh mahasiswa yang menjadi pusat perhatian di novel ini. Alangkah baiknya jika saya tidak membocorkan keseluruhannya. Cukup Ogi saja yang saya bocorkan, itupun saya tidak akan memberitahu "bagaimana"-nya.
Novel yang berjudul Kami (bukan) Sarjana Kertas ini menggambarkan dunia perkuliahan beserta konflik-konfliknya. Dunia perkuliahan bukan hanya tentang KKN maupun cinlok. Di dalamnya terdapat impian, cobaan, serta tentang bagaimana seharusnya menjadi seekor kecoak. Mahasiswa bukan sekadar tentang berlomba-lomba meraih cumlaude. Mahasiswa tidak boleh menjadi "sarjana kertas".
Melihat judul dari novel ini, terdapat kata yang ditanda-kurungi yaitu kata "bukan". Salah satu fungsi dari tanda kurung adalah untuk menghilangkan kata yang ditanda-kurungi tersebut (lih. Ejaan Kemendikbud). Itu berarti, kata "bukan" dalam judul novel ini, dapat dihilangkan. Jika dihilangkan, maka judul novel ini akan dibaca "Kami Sarjana Kertas". Sarjana kertas sendiri dapat diartikan sebagai seorang sarjana yang hanya berada di atas kertas (ijazah), bukan sarjana yang bermanfaat bagi dunia, maupun bagi dirinya sendiri.
Dengan begitu, tugas pembaca, atau mahasiswa, atau para sarjana, adalah menghilangi tanda kurung yang terdapat pada judul novel ini. Sehingga, saya, kamu, kita, kalian, benar-benar bukan sarjana kertas.
"Jika orang berlomba-lomba bagaimana bisa tampil paling atas di Google, kampus UDEL justru berupaya agar tak muncul." (hal.1)
Kurang lebih begitulah apa yang disampaikan oleh si narator dalam novel ini. Benarlah, kampus tersebut bukanlah kampus yang ada di dunia ini, melainkan berada di dunia fiksi milik J.S. Khairen. Entah apa yang dimaksudkan oleh si penulis, tetapi dalam novelnya ini, digambarkan bahwa kampus yang bernamakan UDEL ini merupakan kampus yang amburadul. Sebuah kampus swasta yang isinya hanyalah mahasiswa "buangan". Sebuah kampus yang sedang menuju "pembubarannya". Saya selaku pembaca menganggap itu sebagai sebuah bentuk satir dari si penulis.
Tetapi walaupun UDEL seperti itu, pembaca akan diperkenalkan dengan tokoh dosen yang nantinya pasti menjadi favorit pembaca, penulis menamainya Ibu Lira. Seperti yang sudah disinggung, pembaca pun akan diperkenalkan dengan tokoh-tokoh yang berperan sebagai mahasiswa, yang di mana mereka memiliki latar belakang dan konflik yang berbeda-beda. Mereka dinamai: Ogi, Ranjau, Juwisa, Sania, Gala, Arko, dan Catherin. Merekalah yang akan mewarnai kampus UDEL dan juga novel ini.
Dengan digerakkan oleh si narator, para mahasiswa itu akan berhadapan dengan konflik-konflik selama berada di UDEL. Sebagai pembaca, saya menganggap tidak ada tokoh utama di dalam novel ini. Tidak ada tokoh-sentris yang menonjol. Kalaupun ada, maka tokoh utama dari novel ini bukanlah perorangan, melainkan per-tujuh mahasiswa yang tadi sudah disebutkan. Mereka menjadi tokoh protagonis dengan didampingi tokoh antagonisnya masing-masing.
Di samping dengan permasalahan mereka masing-masing, sepertinya ketujuh mahasiswa itu sama-sama mempunyai satu tokoh antagonis yang sama: tokoh dosen yang bernama Pak Jaharizal. Tokoh yang satu ini adalah tokoh dosen yang dibuat oleh penulis menjadi semenyebalkan mungkin. Dia selalu membuat mahasiswanya untuk membeli buku yang nantinya dijadikan bahan ajar dengan harga yang mahal. Pak Jaharizal pun seperti membenci UDEL, kampus tempatnya mengajar. Tokoh dosen Pak Jaharizal dengan begitu menjadi tokoh antagonis bersama.
"Kalau begini ceritanya, dosennya mafia begini, mungkin impian mereka itu susah diraih." (hal. 11)
Perkataan si narator di atas menggambarkan bagaimana kondisi para mahasiswa jika duitnya terkuras oleh dosen seperti Pak Jaharizal. Saya pernah mengalami menjadi seorang mahasiswa. Fase menjadi mahasiswa merupakan fase di mana "mau minta duit malu, enggak minta, enggak punya duit." Dengan begitu mahasiswa mempunyai dua pilihan jika ingin memegang duit: bekerja, atau meminta, atau pilihan alternatifnya, si mahasiswa haruslah/merupakan anak sultan. Bisa terbayangkan, kan, jika para mahasiswa yang dengan kondisi finansialnya lemah, bertemu dengan seorang dosen yang serupa dengan Pak Jaharizal? Dengan begitu, si narator mengatakan bahwa impian-impian para mahasiswa di novel ini akan sulit untuk diraih.
Selain penokohan, J.S. Khairen pun menggunakan gaya bahasa yang "kekinian". Diksi yang digunakan merupakan diksi-diksi yang sering digunakan kaum muda masa kini. Hal tersebut membuat novel ini menjadi karya sastra "pop", yang ringan untuk dikonsumsi pembacanya. Walaupun begitu, energi puitis si penulis kerapkali tertuang. Setiap menuju bab (di novel ini sebutannya "episode") selanjutnya, si penulis menyelipkan energi puitisnya. Seperti yang dicantumkan pada halaman 266, yang juga merupakan perkataan dari tokoh Ibu Lira (hal.64), yang berbunyi:
"Kita mungkin tidak ada yang bisa jadi manusia sempurna dan indah seperti kupu-kupu. Tapi, kita semua diberikan kemampuan untuk bertahan. Jangan mau kalah sama kecoak."
Asbabunnuzul dari perkataan Ibu Lira itu adalah ketika dirinya sedang menasehati salah satu mahasiswanya yang sedang terpuruk, Ogi. Pada saat itu Ibu Lira menunjukan larva dari kecoak Madagaskar. Kemudian Ibu Lira menjelaskan bahwa kecoak adalah salah satu spesies yang kuat untuk tetap bertahan walau komet atau perang nuklir menghantam bumi. Oleh karenanya, Ibu Lira menasehati, "Jangan mau kalah sama kecoak."
Dengan begitu, novel yang mengandung energi-energi puitis ini setidaknya bisa memuaskan batin pembaca yang sedang hampa. J.S. Khairen, sang Jendral Kata-Kata (begitu dia menyebut dirinya sendiri di halaman Tentang Penulis), telah memberi pembacanya berbagai macam konflik yang dialami para mahasiswa dengan resolusi yang bisa dikatakan "happy ending". Seperti halnya tokoh Ogi yang mulanya dihantam permasalahan dan kemudian memutuskan berhenti dari UDEL, berakhir dengan bekerja sebagai seorang ahli teknologi di Amerika. Begitupun dengan tokoh lainnya, khususnya ketujuh mahasiswa yang menjadi pusat perhatian di novel ini. Alangkah baiknya jika saya tidak membocorkan keseluruhannya. Cukup Ogi saja yang saya bocorkan, itupun saya tidak akan memberitahu "bagaimana"-nya.
Akhir Kata: Menghilangkan Tanda Kurung
Novel yang berjudul Kami (bukan) Sarjana Kertas ini menggambarkan dunia perkuliahan beserta konflik-konfliknya. Dunia perkuliahan bukan hanya tentang KKN maupun cinlok. Di dalamnya terdapat impian, cobaan, serta tentang bagaimana seharusnya menjadi seekor kecoak. Mahasiswa bukan sekadar tentang berlomba-lomba meraih cumlaude. Mahasiswa tidak boleh menjadi "sarjana kertas".
Melihat judul dari novel ini, terdapat kata yang ditanda-kurungi yaitu kata "bukan". Salah satu fungsi dari tanda kurung adalah untuk menghilangkan kata yang ditanda-kurungi tersebut (lih. Ejaan Kemendikbud). Itu berarti, kata "bukan" dalam judul novel ini, dapat dihilangkan. Jika dihilangkan, maka judul novel ini akan dibaca "Kami Sarjana Kertas". Sarjana kertas sendiri dapat diartikan sebagai seorang sarjana yang hanya berada di atas kertas (ijazah), bukan sarjana yang bermanfaat bagi dunia, maupun bagi dirinya sendiri.
Dengan begitu, tugas pembaca, atau mahasiswa, atau para sarjana, adalah menghilangi tanda kurung yang terdapat pada judul novel ini. Sehingga, saya, kamu, kita, kalian, benar-benar bukan sarjana kertas.
- Purwakarta

%20Sarjana%20Kertas%20-%20review%20-%20mlendrijuli.png)


Post a Comment