Setelah tragedi dua belas lima, bukannya lebih berhati-hati lagi dalam mengeluarkan uang, kami malah nekat pergi ke Bandung, lebih tepatnya menuju mesjid Al-Jabbar. Kenapa Al-Jabbar? Ya, karena sedang viral. Terlebih lagi, kami memang sudah berniat untuk berkunjung ke sana berbulan-bulan lalu. Sayangnya, kami malah pergi di akhir bulan Mei.
Kurang lebih dua jam kami dalam perjalanan dari Cirata ke kota Bandung. Setibanya, kami disuguhi matahari yang menyengat hingga kemacetan kota Bandung. Walaupun Bandung merupakan kota yang besar, rasanya akan menjadi sempit ketika terjadi kemacetan di jalanan. Rata-rata kota besar seringkali dilanda kemacetan. Ya, namanya juga kota besar. Besar-besar mobilnya. Besar-besar gedungnya. Besar-besar kemacetannya.
Dalam perjalanan, saya berniat untuk tidak melanjutkan perjalanan ke mesjid Al-Jabbar. Tetapi teman saya belum mengetahuinya. Soalnya, ketika melihat maps, kami mendapati bahwa Al-Jabbar masihlah berjam-jam dan berkilo-kilo perjalanan. Kalaupun tetap nekat untuk pergi menuju Al-Jabbar, saya akan meminta teman saya itu untuk mengendarai motor. Saya sudah tidak kuat untuk berlama-lama lagi duduk di jok motor, rasanya ingin berdiri sambil teriak "Capeknya!".
Walhasil saya memutuskan untuk mengunjungi kampus tempat saya berkuliah dulu. Saya pun membicarakannya kepada si teman perjalanan, dan ia menyutujuinya. Dengan begitu, kami bisa beristirahat dan saya bisa bernostalgia. Tibalah kami di sana dan, entah kebetulan atau takdir, kami mendapati para wisudawan yang sedang merayakan kelulusannya. Kemacetan pun lagi-lagi harus kami dapati.
Walaupun begitu, setibanya di kampus, langit terasa lebih tenteram. Sejuk. Mendung. Pas untuk beristirahat. Pas untuk bernostalgia. Kami pun memasuki wilayah kampus, dan saya membawa teman saya ke tempat tongkrongan samping fakultas tempat saya menikmati masa-masa kuliah dulu. Sebutannya DPR (Di bawah Pohon Rindang). Akhirnya, kami bisa merenggangkan badan kami.
Di sana kami memarkirkan motor, membeli air minum, kemudian tak lupa juga sembahyang zuhur. Di DPR itu juga entah kebetulan atau takdir lagi, saya bertemu dengan bestie saya ketika kuliah. Dia merupakan teman sekelas sekaligus teman yang selalu ada di kosan saya dulu. Dia dikenal dengan makannya yang sangat lahap, tetapi tubuhnya enggan membesar. Itu baik-baik saja. Tetapi itu jadi lucu, sehingga bisa dijadikan bahan bercandaan ketika nongkrong.
Kami pun bernostalgia. Sedangkan si teman perjalanan, saya biarkan. Terserah apa yang akan dia lakukan, asal tidak mengamuk tiba-tiba, apalagi melamun lalu kesurupan. Untungnya dia orang yang tenang. Dia hanya beristirahat sembari memain-mainkan gawainya, entah apa yang dilihatnya, mungkin potongan-potongan reels tentang Mobile Legends.
Selagi ada si teman perjalanan, saya bisa memanfaatkannya untuk memotret saya bersama si teman kuliah. Sehingga suatu saat nanti, saya bisa menceritakan kepada anak saya tentang seorang teman yang makannya lahap. Saya bisa menampilkan wajah si teman kuliah kepada anak saya.
***
Di sela-sela bernostalgia dan bercerita sedikit tentang hiruk-pikuk kehidupan kini, saya menyempatkan membuka gawai dan membuka aplikasi maps untuk melihat jarak tempuh menuju Al-Jabbar. Dan what? Ternyata Al-Jabbar tidak terlalu jauh dari kampus saya. Yang semula saya berniat mengurungkan diri ke sana, kini tiba-tiba saya bergumam, "Kapan lagi?"
Saya segera mengonfirmasikan informasi tersebut kepada si teman kuliah. Terlebih lagi, dia tinggal di Bandung dan saya yakin dia akan mengetahui di mana letak mesjid Al-Jabbar yang sedang viral itu. Ternyata bukan hoaks ataupun sesat, Al-Jabbar memang berlokasikan tak jauh dari kampus! "Gaskeun!" Saya kembali bergumam.
Saya pun segera mengajak si teman perjalanan, dan kemudian kami memutuskan untuk menuju Al-Jabbar setelah melakukan sembahyang asar. Lagipula, jika terlalu lama berdiam di kampus, bisa-bisa uang kami terkuras. Si teman kuliah pun berniat meninggalkan kampus. Sebelum pulang, dia memohon, "Antar, lah. Motor saya di luar kampus." Saya pun mengantarnya menuju tempat motornya diparkirkan. Masa iya, seorang teman tega membiarkannya berjalan kaki? Tetapi saya pun bertanya kepadanya, "Kenapa juga motormu diparkir di sana? Aya-aya wae (ada-ada saja)."
"Iya, tadi gak bisa masuk, penuh." Jawabnya.
Kemudian kami pun berpamitan. Saya kembali menuju kampus, menemui si teman perjalanan yang menunggu di masjid kampus. Demi menghemat waktu, kami pun segera pergi meninggalkan kampus dan bergegas menuju Al-Jabbar.
Akhirnya, di bawah langit petang, kami tiba di Al-Jabbar. Indah memang. Karena tukang parkir sudah banyak yang menyambut pengunjung, kami pun segera memarkirkan motor. Dalam hati saya bergumam, "Semoga tukang parkir di sini tidak akan memungut biaya yang tinggi, yang dengannya bisa terbeli nasi padang paket ceban."
Jarak antara tempat parkir menuju Al-Jabbar memang memaksa kita untuk sedikit berjalan kaki. Untungnya cuaca sedang sejuk. Langit sedang mendung. Terlihat pengunjung lain mengenakan outfit yang islami, sedangkan kami mengenakan outfit anak band: celana levis, kaos, sweaeter/jaket, sembari menjingjing kantong kresek sisa nasi liwet "dua belas lima".
"Kita akan makan ini di selasar mesjid Al-Jabbar." Katanya. Saya mengiyakannya. Kebetulan perut sudah mulai menggurutu. Ternyata ada untungnya kita membawa sisa liwetan itu. Tetapi tetap saja, nasi liwet itu sudah menguras dompet kami.
Tiba kami di depan gerbang mesjid Al-Jabbar. Para petugas sudah siap menyambut. Sebelum melewati gerbang, para petugas itu menyuruh kami dan pengunjung lainnya untuk melepaskan alas kaki. Kami menurutinya. Setelahnya, kami pun menapakkan kaki kami di halaman depan mesjid Al-Jabbar.
"Kita cari tempat untuk makan." Kata teman saya. Kami mulai mencari-cari tempat untuk makan. Hingga tibalah kami di sebuah selasar samping masjid. Kami pun memutuskan untuk mem-booking tempat di ujung selasar itu, yang di mana kami bisa melihat genangan air yang menyerupai danau. Kami memakan nasi liwet "dua belas lima" di sana.
Kami membuka kantong kresek yang sedari tadi dijinjing. Terdapat satu bungkus nasi dan satu bungkus untuk ikannya. Kami membuka bungkus yang berisi nasi, dan ternyata aman. Itu berisi nasi liwet "dua belas lima". Ketika membuka bungkus yang berisi ikan, kami berdua sama-sama bergumam, "Kenapa hanya ada satu ikan? Bukannya asalnya ada empat? Terus kita memakan dua, kenapa sekarang hanya ada satu?" Kekesalan kami pun membuat kami berpikir bahwa satu ikan yang hilang itu memang disengaja "dihilangkan" oleh ibu warung dari Cirata. Tapi apalah daya, kami hanya bisa kesal sembari terpaksa memakan sisa nasi liwet "dua belas lima" itu. Sesudahnya, kami ditambah kesal karena lupa tidak membawa/membeli air minum.
Bukannya air minum yang didapati, kami malah mendapati air hujan. Bukannya tak bersyukur, kami jadi susah untuk membeli air minum. Kami harus segera berteduh sembari menahan dahaga setelah memakan nasi liwet "dua belas lima". Akhirnya, daripada bengong, kami mengambil video atau gambar dari gawai kami, seperti halnya pengunjung lain.
Hujan baru terasa reda setelah waktu hampir menuju azan maghrib. Segera kami keluar dari Al-Jabbar, mencari warung untuk membeli air minum, sekalian mencari tempat untuk mengisi daya gawai teman saya yang cepat habis dayanya. Kami pun menemukannya, walaupun harus berimpitan dengan pengunjung/pedagang lain yang ikut berteduh.
Selain air minum, saya memesan kopi. Teman saya memesan minuman yang saya lupa apa yang dipesannya. Dia segera mengisi daya gawainya, walau harus mengeluarkan uang. Menunggu daya gawainya terisi, dengan berimpitan dengan orang ramai, kami berteduh di warung itu. Bukannya mereda, hujan malah kembali menderas, dan teman saya secara tidak sengaja menumpahkan kopi saya. Kami pun merasa ditonton oleh pengunjung lain. Masalah lainnya adalah, saya dalam keadaan tidak bisa mengeluarkan uang lagi untuk membeli kopi.
***
Azan magrib sudah dikumandangkan. Kami berdua sepakat untuk merasakan bagaimana rasanya sembahyang di mesjid Al-Jabbar. Hujan sudah mereda. Kami pun segera kembali memasuki mesjid Al-Jabbar. Petugas kembali mengingatkan untuk melepaskan alas kaki. Kami menurutinya. Kami jinjing alas kaki kami dan segera berwudhu.
Kami harus menaiki tangga untuk sampai di tempat sembahyang mesjid Al-Jabbar. Tidak ada tulisan "Simpan alas kaki Anda ke tempat rak!" Jadi, setiba di atas, kami simpan alas kaki kami di depan pintu masuk. Kami pun berhasil merasakan solat (magrib) berjamaah di Al-Jabbar. Setelahnya kami tidak bergegas keluar. Kami memutuskan untuk sekalian melaksanakan solat isa di sana. Jadi, kami "ber-itikaf" di dalam masjid Al-Jabbar hingga beres solat isa nanti.
Sembahyang isa telah usai. Sudah waktunya bagi kami untuk meninggalkan Al-Jabbar. Tetapi sepertinya Al-Jabbar belum mengijinkan kami pergi. Begitu keluar melewati pintu, kami mendapati alas kaki kami tiada! Bagaimana kami bisa pergi?
Kami mencari alas kaki kami ke sana-ke mari. Tidak bertemu juga. Kami mencari ke rak bagian laki-laki. Hasilnya tidak ada. Kami pun mencari ke rak bagian perempuan. Hasilnya tetap nihil. Kami kembali ke atas, kembali menaiki tangga, alas kaki kami belum juga ditemukan. Kami kembali turun, mondar-mandir ke rak bagian laki-laki lagi, lalu ke rak bagian perempuan lagi. Tetap tidak ada. Saya sudah kesal. Begitupun dengan teman saya. Kami terdiam, menunggu Al-Jabbar sepi dari pengunjung. Tetapi Al-Jabbar tak kunjung sepi, malah tambah keramaiannya. Sekali lagi kami mencoba mencari. Kami kembali menuju rak bagian perempuan. Bukannya alas kaki yang didapat, kami malah mendapati para petugas yang marah-marah, berteriak-teriak, karena melihat pengunjung laki-laki berada di rak bagian perempuan. Para petugas itu melontarkan kata-kata seperti, "Hei, jangan cabul! Laki-laki tidak boleh ada di sini! Ini tempat perempuan!" Karena tidak ingin disebut cabul, kami segera meninggalkan rak bagian perempuan itu.
Kami terdiam, merenung memikirkan bagaimana kami bisa pergi dari Al-Jabbar. Betapa kesalnya kami pada saat itu kepada para petugas. Kalaupun kami melanggar aturan, kenapa juga alas kaki kami harus ditiadakan? Lagipula tidak ada semacam tulisan yang melarang menyimpan alas kaki selain di rak. Dari sana saya menyadari betapa pentingnya sebuah alas kaki. Kami berdiskusi. Membeli alas kaki baru hanya akan menguras uang. Setelah cukup lama terjebak, kami memutuskan untuk pergi dari Al-Jabbar dengan tanpa alas kaki.
"A, kunaon nyeker (kenapa tidak pakai alas kaki)?" Tanya seorang tukang parkir ketika kami tiba di tempat motor kami diparkirkan. "Hilang, Mang." Jawab kami. Si mamang (paman) tukang parkir tidak banyak tanya lagi. Dia langsung memarkirkan motor kami. Untungnya, dia tidak memasang harga untuk parkir. Kami memberinya lima ribu rupiah dan dia menerimanya. Syukurlah, kami tidak dibuat tambah kesal.
Waktu sudah cukup malam. Kami memutuskan untuk menginap di mesjid kampus saya tadi, dan akan pulang menuju Purwakarta esok hari.
***
Setibanya di masjid kampus, kami bertemu dengan mahasiswa yang hari ini telah resmi menjadi sarjana. Dia berasal dari pulau Sumatera. "A, boleh tidur di sini?" Tanyanya. Sungguh pertanyaan aneh. Kenapa dia bertanya soal itu? Ini kan, masjid di kampus tempatnya belajar selama kurang lebih empat tahun? Seharusnya dia lebih tahu. Saya, si, sudah tahu, bahwa masjid kampus ini terbuka, apalagi untuk mahasiswa. Saya pun mengatakan bahwa boleh saja kita menginap di masjid asal beri laporan dulu kepada satpam. Walhasil, dia, dengan seorang temannya, langsung merebahkan tubuhnya, bersiap untuk menginap.
Sebelum tidur, dia malah mengajak kami berbincang-bincang. Cukup panjang. Tentang bahasa, tentang budaya, hingga tentang film Ngeri-Ngeri Sedap dia bahas. Tetapi, baiknya, dia memberi kami cemilan untuk dimakan, yang cukup untuk menghilangkan rasa lapar dari orang yang sudah tidak mampu jajan sana-sini lagi seperti kami. Setelahnya saya, teman perjalanan saya, si Aa Sumatra, serta seorang temannya, tertidur di masjid kampus pada malam itu.
Esoknya, setelah melaksanakan sembahyang subuh, saya mencari-cari alas kaki yang terlihat sudah tidak ada pemiliknya, dan masih bisa digunakan. Ada banyak alas kaki yang tersedia. Saya yakin pasti ada alas kaki yang tidak ada pemiliknya. Sebab, jumlah alas kaki yang terlihat berbeda dengan jumlah orang yang berada di masjid. Saya pun memilih-milih alas kaki yang terlihat sudah usang. Akhirnya saya menemukan sepasang alas kaki tersebut. Teringat teman, saya pun mencari sepasang alas kaki lainnya untuk dirinya. Saya pun menemukannya. Saya hanya berharap, alas kaki yang saya pilih memanglah tidak ada pemiliknya, dan apa yang saya lakukan ini bukanlah bagian dari perilaku ghosob.
Pada kurang lebih pukul enam pagi, kami pergi meninggalkan Bandung dengan menggunakan alas kaki yang berbeda dari pemberangkatan.
***
- Purwakarta





Post a Comment