Written by Len
Written by Len

A Tale of Two Cities: Nostalgia kepada Revolusi

Charles Dickens memang penulis yang menyebalkan. Kira-kira begitu reaksi saya ketika selesai membaca A Tale of Two Cities-nya.


a tale of two cities- review-novel-mlendrijulian


Charles Dickens memang penulis yang menyebalkan. Entah apa yang dipikirkannya ketika menulis. Makan apa dia sehingga bisa melahirkan sebuah cerita yang membuat hati saya tersayat. Kira-kira begitu reaksi saya ketika selesai membaca A Tale of Two Cities-nya.


Sekilas tentang A Tale of Two Cities

A Tale of Two Cities adalah karya Charles Dickens yang diterbitkan pada tahun 1859. Karya ini merupakan sebuah karya sastra yang berbentuk novel. Bisa dibilang, A Tale of Two Cities merupakan "masterpiece"-nya seorang penulis asal Inggris tersebut. Minimal, A Tale of Two Cities sudah menjadi sebuah masterpiece di hati saya.


Walau A Tale of Two Cities diterbitkan di jaman ketika Indonesia belum memproklamasikan kemerdekaannya, ketika Pa Harto belum didemo oleh mahasiswa, ataupun ketika pandemi Covid belum menyerang bumi, novel jaman old tersebut memiliki ide-ide yang akan/sedang diterapkan di jaman now. Kekuatan ide itulah yang membuat Dickens menjadi penulis yang menyebalkan.

Novel ini pun pernah diadaptasi menjadi menjadi film. Namun, jika anda ingin membuat hati anda lebih dipermainkan, lebih baik anda membacanya melalui sumber aslinya: novel. Sebab, berbeda dengan komik/manga yang ditunggu-tunggu animasinya, A Tale of Two Cities akan lebih menegangkan ketika dibaca.

Dengan A Tale of Two Cities, kita akan bertamasya ke dua negara besar yang saat ini kita kenal dengan "Inggris" dan "Perancis". Dua negara itulah yang menjadi latar belakang, yang akan menghadirkan kisah-kisah, dari kisah yang menyenangkan hingga kisah yang menyayat-nyayat perasaan.


Revolusi, Ide, dan Nuansanya

Pada tahun 1789, sebuah tahun yang mudah diingat, terjadi sebuah peristiwa yang menggemparkan dunia. Peristiwa tersebut disebut dengan "Revolusi Perancis". Sebuah peristiwa yang datang dari kemarahan masyarakat. Sebuah peristiwa yang benar-benar merevolusi pemikiran. Sebuah peristiwa yang seakan-akan sedang berbisik, "Raja bukanlah Tuhan!"

Dengan fungsi karya sastra sebagai mimesis (tiruan) dari sebuah realita, Charles Dickens me-mimesis-kan peristiwa Revolusi Perancis tersebut ke dalam A Tale of Two Cities-nya. Di dalamnya akan tergambarkan segala kisah, derita, bahkan darah selama revolusi berlanjut. Dengan masuk ke dalamnya, selamat, kita akan sama-sama merasakan tawa, tangis, hingga rontaan pada masa revolusi, khususnya Revolusi Perancis.

Charles Dickens membuka novelnya ini dengan menggambarkan sebuah masa yang memiliki kekontrasan di dalamnya. Dia menulis:

"Inilah masa terbaik, sekaligus masa terburuk. Zaman kebijaksanaan, juga zaman kebodohan. Zaman iman, sekaligus zaman keragu-raguan. Musim Terang, sekaligus musim Kegelapan. Musim saat pengharapan bersemi, tetapi juga musim keputusasaan yang dingin. Di hadapan kita, segala sesuatunya terbentang. Di hadapan kita pula, kehampaan membayang. Kita semua akan langsung diangkat ke Surga, atau akan berbondong-bondong ke jalan sebaliknya."


Pernyataan itu ditampilkan oleh si narator dalam novel. Kita belum dipertemukan dengan para tokoh. Walau demikian, pernyataan si narator tersebut sekiranya sudah menggambarkan nuansa sebuah zaman yang akan dihadirkan dalam novel. Sesudah membaca pernyataan tersebut, si narator kemudian memberikan sebuah bocoran bahwa latar waktu yang akan melatari novel ini dimulai dari tahun 1775. Itu artinya, Revolusi Perancis belum dimulai. Dengan mengetahui itu, kita bisa menuduh Dickens, bahwa ia ingin memberitahu kita bagaimana keadaan sebelum revolusi terjadi, atau bisa juga, apa sesungguhnya yang menyebabkan revolusi terjadi.

Selain itu, pada pembukaan A Tale of Two Cities ini, si narator menggambarkan raja-raja dan ratu-ratu, khususnya raja dan ratu di negara Inggris dan Perancis. Si narator menggambarkan bahwa pada masa itu, raja-raja dan ratu-ratu masih menggunakan "keilahian" mereka untuk sebuah kewenangan. Tentu saja, siapa pula yang ingin menentang "keilahian" tersebut? Oleh karenanya, si narator seakan-akan ingin mengatakan bahwa pada masa itu, "Raja maupun Ratu adalah titisan Tuhan".

Sifat "keilahian" itulah yang merupakan salah satu penyebab terjadinya Revolusi Perancis. Revolusi Perancis ingin membuktikan apakah benar sifat "keilahian" itu benar adanya. Maka, yang menjadi incaran dari Revolusi Perancis ini adalah Sang Raja. Pembuktiaannya pun bukan melalui wawancara seperti Talk Show, melainkan melalui sebuah alat yang bernama guillotine. Dalam novel ini, guillotine atau la guillotine sering disebut-sebut sebagai "Si Perempuan Tajam". Karena tajamnya itu, guillotine mampu membuat satu karung penuh akan kepala-kepala. Dengannya, Revolusi Perancis mendapatkan sebuah jawaban yang menjawab apakah benar sifat "keilahian" itu ada.

guillotine-mlendrijulian
Illustration of Guillotine

Selain Sang Raja, yang menjadi incaran dari Revolusi Perancis adalah semua keturunan dari Sang Raja tersebut. Yang berdosa maupun yang tidak berdosa, selama memiliki darah Sang Raja, Revolusi Perancis akan mempertemukan mereka dengan guillotine. Tidak hanya sampai mereka yang memiliki darah Sang Raja, mereka yang mempunyai hubungan dengan Sang Raja, baik itu dari hubungan pernikahan, hingga kepada para pegawai kerajaan, pun akan dipaksa untuk diperkenalkan dengan guillotine. A Tale of Two Cities menggambarkan/mengadegankan bagaimana hal-hal tersebut terjadi.

Ada satu hal lagi yang bisa ditemukan tentang penyebab terjadinya revolusi di dalam novel ini: dendam. Dengan membaca A Tale of Two Cities ini, kita akan dipertemukan dengan seorang tokoh yang bernama Madame Defarge. Saya tidak ingin membeberkan lebih rinci tentang tokoh perempuan tersebut. Yang ingin saya beberkan adalah: Madame Defarge adalah tokoh yang selamat dari kekejaman "keilahian" Sang Raja dan seorang tokoh perempuan yang mengundang revolusi datang. Segala ide tentang revolusi lahir dari sosok perempuan tersebut. Namun, ide itu datang dari sebuah dendam, dan sesuatu yang datang dari dendam, selalu akan melahirkan sesuatu yang kejam. Kekejaman itu yang membuat novel A Tale of Two Cities ini memiliki nuansa ketegangan.

Sehingga, si narator mengatakan sesuatu kepada guillotine, "Si Perempuan Tajam":

"Kemerdekaan, kesetaraan, persaudaraan, atau kematian, Wahai Guillotine, rupanya kematianlah yang paling mudah terwujud!" (Hal: 363)


Sebetulnya, "Kemerdekaan, Kesetaraan, dan Persaudaraan" adalah 3 ide yang dilahirkan dari Revolusi Perancis. Namun, di dalam A Tale of Two Cities, Dickens yang menyebalkan menambahkan satu hal di antara ketiga ide tersebut: "Kematian". Ternyata, ide tambahan dari Dickens itu memang benar, bahwa ada kematian di antara Kemerdekaan, Kesetaraan, dan Persaudaraan.

Si narator pun seperti ingin berbincang dengan guillotine, bahwa di antara tiga ide tersebut, kematianlah yang paling mudah terwujud. Bagaimana tidak? Ketika masa revolusi bergejolak, A Tale of Two Cities menggambarkan guillotine yang tidak sepi akan kerjaan. Setiap saat guillotine dipertemukan dengan kepala-kepala yang terhubung dengan Sang Raja. Ide tentang kematian dari sebuah revolusi benar-benar teraplikasikan dengan mudahnya. Lagi-lagi, ide tentang kematian itu memang datang dari sebuah dendam.

Di sisi lain, Kemerdekaan, Kesetaraan, dan Persaudaraan adalah ide original yang lahir dari Revolusi Perancis. Karena tiga ide itu datang dari Perancis, maka alangkah baiknya jika kita mengetahui istilah Perancis untuk ide-ide tersebut. "Liberte, Egalite, Fraternite" adalah istilah Perancis-nya dari Kemerdekaan, Kesetaraan, dan Persaudaraan. Ketiga ide itu yang diterapkan oleh masyarakat Perancis hingga saat ini. Walaupun, di antara tiga ide tersebut, ada Kematian yang pernah/harus dilalui.

Sebelumnya, tulisan ini telah menyatakan bahwa latar belakang dari A Tale of Two Cities adalah dua negara besar: Perancis dan Inggris. Rasanya seperti pilih kasih jika hanya membahas salah satu dari latar belakang tersebut. Namun, tidak seperti Perancis, A Tale of Two Cities menggambarkan Inggris (yang juga negara kerajaan, bahkan hingga sekarang) seperti negara "utopis". Negara Inggris menjadi negara yang di mana tidak ada konflik di dalamnya. Negara Inggris menjadi awal dan akhir dari novel A Tale of Two Cities.

Walau Inggris merupakan negara kerajaan, belum pernah ada peristiwa "Revolusi Inggris" dalam sejarah. Ditambah lagi, A Tale of Two Cities menggambarkan bahwa Inggris menjadi tempat yang aman untuk berlindung. Tokoh seperti Charles Darnay, yang memiliki darah Sang Raja dari Perancis, memutuskan untuk tinggal di Inggris dan enggan untuk kembali ke negaranya. A Tale of Two Cities menggambarkan bahwa ketika kaki sudah berada di tanah Inggris, kita akan selamat dari segala derita. Nuansa seperti itu betul adanya di dalam A Tale of Two Cities ini.

Perumpaan untuk Perancis dan Inggris seperti hitam dan putih, pahit dan manis, sejahtera dan sengsara. Bahkan, dalam novel ini terdapat adegan pertengkaran bela diri antara Miss Pros dari Inggris dan Madame Defarge, si revolusioner dari Perancis, dan Dickens pun membuat pertengkaran itu dimenangkan oleh Miss Pros. Adegan pertengkaran itu adalah salah satu adegan yang penuh akan ketegangan! Mungkin apa yang ingin dicurahkan oleh Dickens dalam novelnya ini adalah bahwa kesejahteraan suatu bangsa bukan dilihat dari sistem kenegaraan dari negara tersebut, melainkan tumbuhnya nilai kemanusiaan pada setiap diri dari bangsa tersebut.

Sebelum menutup tulisan ini, ada hal yang ingin disampaikan. Revolusi Perancis yang digambarkan oleh Dickens dalam A Tale of Two Cities ini memang penuh dengan kekejaman. Walau sebenarnya tujuan intinya ialah menghapuskan kesewenangan dari sifat "keilahian", jika didasari dari dendam, maka akan menjadi sesuatu yang kejam. Pada akhir dari Revolusi Perancis, sekaligus akhir dari novel A Tale of Two Cities ini, ada seorang tokoh yang saya kagumi: Sidney Carton. Melaluinya, novel ini memiliki akhir yang menyesakkan. Dia yang membuat saya tidak akan pernah menyesal karena telah membaca A Tale of Two Cities ini. Dia yang telah menutup Revolusi Perancis yang penuh kekejaman dan segala kisah di dalam A Tale of Two Cities ini, dengan penuh cinta.

Penutup

Selama masa revolusi, para pejuang menyetarakan diri mereka satu sama lain dengan kata "citoyen". Kata tersebut memiliki arti "warga negara". Untuk kaum perempuan, kita bisa menggunakan kata "citoyenne". Revolusi Perancis yang sempat menggemparkan dunia itu berawal dari kemarahan para citoyen dan citoyenne Perancis. Ada tiga ide yang lahir dari kemarahan tersebut: Liberte (Kebebasan), Egalite (Kesetaraan), dan Fraternite (Persaudaraan). A Tale of Two Cities menggambarkan itu semua.

Namun, karena ada dendam dalam revolusi tersebut, A Tale of Two Cities menambahkan satu hal lagi di antara tiga ide Revolusi Perancis: Kematian. Dalam masa revolusi, guillotine menjadi teman bagi kepala-kepala yang bahkan tidak berdosa. Dendam membuat nurani menjadi buta, cinta menjadi benci, akal menjadi tak sehat, air menjadi darah. A Tale of Two Cities mengadegankan bagaimana hal-hal tersebut terjadi. Dengan membaca A Tale of Two Cities ini, saya merasakan antara puas dan sesak. Itu yang membuat Charles Dickens menyebalkan, wahai citoyen dan citoyenne sekalian!


Purwakarta

-

Reference: 

Dickens, Charles. (2016). A Tale of Two Cities. (R. Lesmana, Terjemahan). Bandung: Qanita.

Illustration by:

Post a Comment