Saya kira film A Taxi Driver hanyalah film komedi yang akan memicu tawa. Setelah menontonnya, saya malah terjebak dalam perasaan pilu, sedih, kesal. Di dalamnya saya menemukan sisi gelap sebuah kehidupan. Tapi di sisi lain, ada sebuah pencerahan yang membujuk saya untuk mengungkapkan apa yang saya dapati dari film tersebut di tulisan kali ini.
A Taxi Driver itu sendiri merupakan sebuah film asal Korea Selatan, yang kini bisa ditonton melalui Netflix. Saya sendiri merasa menyesal kenapa baru menonton film yang diliris di tahun 2017 tersebut di tahun 2024. Tetapi pepatah mengatakan, "Tidak ada kata terlambat." Saya pun merasa bersyukur sempat menonton film yang disutradrai oleh Jang Hoon tersebut.
Sekilas tentang A Taxi Driver
A Taxi Driver berawal dari seorang pengemudi taksi kota Seoul, yang bernama Kim Man Sub (Song Kang Ho), yang kehidupan ekonominya pas-pasan. Sebagai seorang ayah, ia harus bisa menafkahi anak perempuan satu-satunya, dan sebagai seorang suami, ia harus menyadari kenyataan pahit bahwa istrinya tidak ada di sampingnya untuk mendampingi. Sebuah mobil taksi menjadi satu-satunya alat bagi Kim Man Sub untuk bertahan hidup.
Singkat cerita, Kim Man Sub mendengar salah satu pesaingnya, akan mendapati 10.000 Won setelah mengantarkan seorang penumpang ke sebuah kota yang bernama Gwangju. Kim Man Sub langsung melangkahi pesaingnya itu untuk menjemput penumpang tersebut. Walhasil, bersama penumpang yang ternyata berasal dari Jerman, Kim Man Sub pergi menuju Gwangju.
Dari sana, cerita A Taxi Driver mulai mengoyak-ngoyak perasaan penontonnya. Setibanya di Gwangju, Kim Man Sub mulai menyadari, bahwa negaranya, khususnya kota Gwangju, sedang tidak baik-baik saja. Kim Man Sub pun berada di sebuah dilema: apakah dia akan memilih dirinya sendiri, atau memilih menyelamatkan negerinya? Ya, keselamatan negara Korea Selatan berada di tangan seorang pengemudi taksi!
Demokratisasi Gwangju
Di tahun 1980, lebih tepatnya pada tanggal 18-27 Mei 1980 (lih. tirto.id), sejarah mencatat sebuah peristiwa besar yang hingga kini disebut dengan Gwangju Uprising, atau 5.18. Peristiwa tersebut (hampir) serupa dengan apa yang terjadi di Indonesia tahun 1998. Baik peristiwa Gwangju Uprising maupun Indonesia 1998, keduanya memiliki dua kesamaan: keduanya merupakan bentuk people power, dan keduanya sama-sama terjadi di bulan Mei.
People power yang saya maksudkan di sini ialah sebuah peristiwa di mana masyarakat bersatu, sehingga menciptakan kekuatan untuk bersuara. Kenapa pula harus bersatu? Tentu saja, karena masyarakat tahu, jika hanya satu orang yang bersuara, power-nya tidak akan cukup. Sedangkan, objek yang dituju sangatlah memiliki power, dalam hal ini, objek yang dituju adalah penguasa.
Apalagi jika melihat Gwangju, atau mungkin seluruh dunia, di tahun 1980, media sosial belum masif digunakan. Kini, seorang influencer di salah satu sosial media, bisa saja memiliki power untuk bersuara. Oleh karenanya, masyarakat Gwangju di tahun 1980 sangat berharap kepada people power, agar suara mereka masuk ke telinga para penguasa. Itulah salah satu kekuatan dari sistem demokrasi.
Ya, demokrasi. Itulah yang dituntut oleh masyarakat Gwangju pada saat itu. Mereka menginginkan sistem pemerintahan yang demokratis. Sebab, sebelum peristiwa Gwangju Uprising terjadi, Korea Selatan dipimpin oleh rezim militer. Selama rezim militer itu berkuasa, masyarakat Korea Selatan, khususnya di Gwangju, hanya melihat kediktatoran. Itulah yang membuat mereka muak, sehingga mereka bersatu untuk membangkitkan people power.
Namun, bukannya didengar, people power itu malah dilawan dengan military power (istilah yang saya gunakan sendiri). Penguasa Korea Selatan pada saat itu, Chun Doo-Hwan, mengerahkan kekuatan militernya untuk melawan suara rakyat. Para mahasiswa, dan masyarakat yang tidak memiliki kekuatan militer, yang mencoba menyuarakan suaranya, disahut oleh senjata militer. Tentu saja, Korea Selatan, khususnya kota Gwangju, menjadi kota yang paling mencekam pada peristiwa tersebut.
Bukan hanya kekuatan militer yang dikerahkan, kekuatan untuk mengontrol media pun dimiliki rezim Chun Doo-Hwan. Suara-suara muak masyarakat dipelintir menjadi suara-suara pemberontak yang ingin menghancurkan negeri. Berita yang beredar di media Korea Selatan pada saat itu seakan-akan mencap buruk masyarakat yang sedang menjalankan haknya sebagai masyarakat demokrasi, yaitu menyuarakan suara. Media, yang seharusnya menjadi alat masyarakat untuk berdemokrasi, yang seharusnya menjadi harapan, tidak bisa berkutik pada saat itu.
Tetapi harapan belumlah sirna. Dari peristiwa Gwangju Uprising itu, hadir pula istilah "Drivers for Democracy", yang menandakan para pengemudi, khususnya pengemudi taksi, menyumbangkan tenaganya untuk mendemokratisasi Korea Selatan. Bahkan, seorang supir taksi menjadi sesosok pahlawan di peristiwa yang mencekam ini, karena telah membawa seorang penumpang asal Jerman, yang di mana dia merupakan seorang jurnalis. Jika tanpa sesosok jurnalis tersebut, peristiwa Gwangju Uprising tidak akan pernah tercatat dalam sejarah, dan rezim kediktatoran militer akan selalu menguasai Korea Selatan. Sesosok jurnalis itu bernama Jürgen Hinzpeter (1937-2016). Melalui film A Taxi Driver inilah, Hinzpeter dapat dikenang dalam sejarah Gwangju Uprising.
Penutup
Ada sebuah kutipan dari seorang, katakanlah filsuf, yang bernama Lord Acton. Katanya, "Power tends to corrupt, and absolutely power corrupts absolutely." Jika saya boleh menerjemahkan, kalimat Lord Acton itu jadi berbunyi, "Kekuasaan bisa mengarah kepada kerusakan, dan memiliki kekuasaan terhadap apapun, sudah pasti merusak segalanya."
Melalui film A Taxi Driver, saya melihat betapa kuatnya suatu rezim yang menguasai suatu negara. Masyarakat Korea Selatan, khususnya Gwangju, harus menumpahkan darah untuk melawan kekuatan rezim tersebut. Atmosfir perjuangan masyarakat dan segala bentuk pertumpahan darah itu tergambarkan dengan cukup baik melalui film A Taxi Driver. Melalui film ini juga, penonton pasti akan diajak untuk mendalami, apa arti dari sebuah sistem yang dinamai demokrasi.
*
- Purwakarta




Post a Comment