Written by Len
Written by Len

Melihat Semangat Pekerja di Film Upstream (2024)

Gao Zhilei, setelah diketahui oleh keluarganya menjadi pengangguran di masa senja, ia terpaksa menjadi seorang kurir online.

Bayangkan Anda hidup di usia renta, di mana sudah tidak bisa lagi melamar pekerjaan, di mana perusahaan sudah tidak mau lagi mengkualifikasi, di mana diri masih harus bekerja untuk menafkahi. Itulah yang sekiranya terjadi pada tokoh utama di film Upstream (2024).

Film yang bisa ditonton di Netflix itu menceritakan seorang tokoh bernama Gao Zhilei (Zheng Xu), seorang tenaga IT, yang tiba-tiba harus di-PHK oleh sebuah perusahaan. Mungkin kasus PHK tidak terlalu bermasalah untuk seseorang yang usianya masih terkualifikasi perusahaan. Tetapi tidak bagi Gao Zhilei, yang usianya sudah tidak diinginkan oleh berbagai perusahaan.

Sebelum melanjutkan tulisan ini, saya harap Anda menyadari, akan ada sedikit spoiler yang ada di tulisan ini. Semoga Anda yang belum menonton film Upstream, tidak hilang rasa penarasannya untuk menontonnya nanti. Bagi Anda yang sudah menonton, mari kita bahas film yang menarik ini!

Upstream (2024) : review by writtenbylen - mlendrijulian


Pekerjaan adalah Keberuntungan

Saya selalu berteori bahwa pekerjaan (getting a job) memiliki satu hal yang tidak dimiliki semua orang: keberuntungan. Ya, jika setiap orang sudah ditulis (ditentukan) segala perjalanan kehidupannya, maka hanya orang beruntunglah yang ditentukan memiliki sebuah pekerjaan yang baik. Jika tidak karena keburuntungan, setiap orang bisa menjadi pejabat yang tidak perlu mengikuti tes CPNS, tapi memiliki gaji yang tidak main banyaknya.

Pemerintah boleh mengampanyekan pendidikan yang baik bagi seluruh warganya. Tetapi jika mereka berjanji akan memberi 1000 lapangan pekerjaan, kini saya tidak bisa 100% mempercayainya. Sekali lagi, maaf saja, pekerjaan memang masalah keberuntungan!

Sebagai pendukung teori saya itu, film Upstream bisa menjadi referensi. Bagaimana tidak? Seorang teknisi IT, yang kehidupannya sudah terlihat stabil, tiba-tiba harus mengenyahkan kaki dari kantornya. Bingung, kesal, sedih, merasa tidak berguna, merasa realitas kejam padanya, begitulah yang dirasakan Gao Zhilei selaku lakon utama. Keberuntungannya hilang sekejap mata.

Sebagai penonton, Anda pasti akan menduga bahwa film ini hanya menjual tangis, menyayat hati, penuh drama. Iya! Memang benar! Film ini memang akan menyajikan itu kepada penonton, tetapi itu hanya di bagian awalnya saja. Setelahnya, penonton akan melihat "pemberontakan". 

Gao Zhilei, setelah diketahui oleh keluarganya menjadi pengangguran di masa senja, ia terpaksa menjadi seorang kurir online, karena hanya pekerjaan itu yang memberinya kesempatan. Awalnya, seperti yang sudah saya sebutkan, Gao Zhilei dihadang kesedihan, kesulitan, kebingungan, keputusasaan, dalam menjani hidup sebagai kurir online.

Ia harus bertarung dengan waktu, pelanggan yang menjengkelkan, hingga dengan egonya yang merasa turun derajat karena bekerja sebagai kurir. Di fase itu, menjadi seorang kurir seperti sebuah kesialan yang harus dihadapinya.

Apalagi ia merupakan seorang sarjana teknologi (bahkan lebih tinggi, saya lupa). Tentu saja, bukan hanya Gao Zhilei, Anda ataupun saya, yang sudah memiliki ijazah perguruan tinggi, pasti akan merasakan hal yang sama ketika menjadi seorang kurir: ya, mengganggap itu kesialan.

Tetapi di pertengahan cerita film tersebut, Ghao Zhilei mencoba "memberontak" kesialannya itu. Bukan! Ia bukan berusaha mengkudeta bos kurirnya, atau mendirikan perusahaan sendiri dan sukses, atau mengikuti permainan seperti di film "Squid Game" agar mendapatkan uang. 

Ia tetap menjadi kurir online. Yang dimaksud dengan "memberontak" di sini ialah ia akan memberontak kesialannya, memberontak kesedihannya, memberontak ke-insecure-annya. Di fase "memberontak" ini, ia mulai merasa tidak sendiri. Teman-teman kurirnya memang benar-benar teman. Film ini tidak menyediakan teman kerja yang merasa iri, yang kemudian berusaha menjatuhkannya. Tidak!

Film ini seperti tidak ada tokoh antagonisnya. Bahkan, menurut saya, yang menjadi antagonis di film ini ialah realitas itu sendiri, dan yang menjadi protagonisnya bukan hanya Gao Zhilei, melainkan seluruh pekerja yang sedang berusaha bertahan hidup. 

Di fase ini, Gao Zhilei beserta teman-teman kurirnya bekerja sama dalam menyelesaikan pekerjaannya. Seperti misalkan, Gao Zhilei yang mempunyai modal ilmu teknologi, berusaha membuat peta/rute, agar kurir sepertinya tidak akan memakan waktu lama dalam mengantarkan pesanannya. Sehingga, ketika pesanan itu sampai di pelanggannya, sang kurir bisa tersenyum manis, dan walhasil, "bintang lima" bisa ia dapatkan. 

Dari sini penonton tidak akan lagi disajikan kesedihan, kesialan, ataupun drama yang menjual tangis. Dari sini, penonton akan disajikan semangat "pemberontakan" seorang kurir online. Kalaupun ada tangis yang tumpah, itupun karena penonton terbawa akan semangat "pemberontakan" itu. 


Semuanya Bekerja untuk Hidup

Seperti yang sudah saya teorikan sebelumnya, bahwa pekerjaan adalah masalah keberuntungan. Tidak semua orang bisa memiliki pekerjaan yang baik. Jika semuanya mempercayai itu, seharusnya tidak perlu ada lagi istilah seperti "pekerjaan baik" dan "pekerjaan buruk". Sebab, semuanya berperan dalam perannya masing-masing. Semuanya bekerja demi bertahan di tengah gempuran realitas. Masalah halal ataupun haram, seharusnya kita sudah bisa menggunakan akal dan hati ketika memilihnya. 

Gao Zhilei, yang tiba-tiba menjadi kurir di usia senja, memilih untuk tetap menerima keadaannya. Memiliki rekan kerja yang senantiasa saling membantu, menjadikan hidupnya sebagai kurir seperti sebuah keberuntungan.

Semangat para pekerja!

Post a Comment